
Ontimes.id, Jakarta – Setelah naiknya harga minyak goreng dengan Harga EceranTertinggi (HET), Pemrintah juga telah menaikkan harga Pertamax menjadi Rp12.500 per liter.
Selain itu, beberapa harga barang dan jasa juga naik lantaran ada tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 11 persen. Sebut saja pulsa dan kuota, transaksi saham, token listrik, dan mi instan.
Beberapa pengguna media sosial mengeluhkan kenaikan harga kebutuhan secara beruntun ini, di sisi lain pendapatan mereka tidak mengalami kenaikan. Lalu, apakah kondisi ini akan meningkatkan rasio gini yang menunjukkan melebarnya angka ketimpangan atau gini ratio di Indonesia?
Adapun berdasarkan data BPS, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini ratio adalah sebesar 0,381 per September 2021. Angka ini menurun 0,003 poin jika dibandingkan dengan gini ratio Maret 2021 yang sebesar 0,384 dan menurun 0,004 poin dibandingkan dengan gini ratio September 2020 yang sebesar 0,385.
Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menjelaskan kondisi ini menjadi pukulan bagi daya beli masyarakat kelas menengah rentan. Dia berkata, ada sekitar 115 juta kelas menengah yang disebut aspiring middle class.
“Mereka ini sebenarnya rapuh meski disebut kelas menengah tapi kenaikan harga pangan dan energi sedikit saja maka bisa turun kelas di bawah garis kemiskinan. Semakin kecil pendapatan masyarakat, maka semakin besar pengeluaran untuk makanan,” kataya, dilansir dari Kumparan, Sabtu (2/4/22).
Baca Juga: DPR Akan Panggil Mendag Lutfi terkait Kelangkaan Minyak Goreng
Baca Juga: Minyak Goreng Langka di Pasaran, KPK Akan Usut Tuntas
Lanjut Bhima, komponen garis kemiskinan sebesar 73 persen berasal dari pangan. Di sisi lain, kenaikan harga hampir tidak berdampak pada pengeluaran orang kaya. Mereka bisa menggunakan uang yang disimpan untuk rekreasi atau hiburan sebagai kompensasi atas naiknya harga barang.
“Selama masa pandemi terjadi juga kenaikan jumlah orang kaya di Indonesia sebanyak 65.000 orang. Gap ketimpangan makin lebar jika kondisinya terus berlangsung seperti ini,” kata dia.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menjelaskan dampak banyaknya komponen biaya yang meningkat akan memiliki andil besar terhadap peningkatan inflasi April 2022. Dia memprediksi inflasi bisa menembus 1 persen bahkan lebih.
Faisal berkata, masyarakat yang akan terkena dampak terbesar adalah kelas bawah karena pendapatan relatif tetap. Ketika biaya kebutuhan sehari-hari meningkat karena inflasi, daya beli mereka akan turun.
Baca Juga: APBN 2022 Surplus Rp19,7 Triliun Per Februari
Baca Juga: Komisi VII DPR Tagih Janji Mendag Umumkan Pengusaha Mafia Migor
“Jadi akan terjadi pelebaran jurang antara yang kaya dan miskin, karena yang kaya daya belinya masih kuat, tidak turun. Kelas bawah saja ini efek inflasi ini akan mendorong ke arah sana,” ujar Faisal.
Dia juga memperkirakan akan ada peningkatan jumlah masyarakat miskin, walaupun tidak akan terlalu besar karena pemerintah akan membuat bantalan dengan menggelontorkan bantuan-bantuan sosial.
Senada dengab Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah, menuturkan kondisi inflasi tidak biasa menjelang puasa tahun ini disebabkan adanya pelonggaran PPKM dan implikasi perang Rusia dan Ukraina.
Kendati demikian, jelas Rusli, peningkatan harga ini disertai dengan adanya sinyal pemulihan ekonomi yaitu mulai meningkatnya mobilitas dan konsumsi masyarakat. Dengan begitu, ada kemungkinan peningkatan pendapatan juga bagi sekelompok masyarakat.
Menurut dia, hal terpenting adalah bagaimana pemerintah bisa menyiapkan bantuan sosial, menjaga inflasi tidak berlebihan, serta memastikan tidak ada spekulan atau penimbun yang mengganggu sisi suplai.
“Bahwa ini akan menambah ketimpangan, mungkin bertambah, apa akan menambah kemiskinan, bisa saja tapi tidak akan sebesar waktu COVID-19. Dan perhitungannya mungkin masih prematur asumsinya, karena ekonomi sudah mulai membaik,” pungkas Rusli. (sf/nj).