
Ontimes.id – Jakarta – Sudah berjalan tiga bulan sejak dikeluarkannya peraturan administrasi publik yang mewajibkan masyarakat untuk menggunakan BPJS Kesehatan sebagai syarat berbagai administrasi publik termasuk administrasi dalam perkara peralihan hak atas tanah.
Sejak tanggal 1 Maret 2022, peralihan hak atas tanah harus dilengkapi dengan tanda bukti kepemilikan dan keaktifan sebagai anggota BPJS Kesehatan sesuai dengan Kebijakan Presiden pada Instruksi Presiden (INPRES) Republik Indonesia No. 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional serta Surat Dirjen PHPT No.HR.02/153-400/II/2022 yag dikeluarkan pada tanggal 14 Februari 2022.
Tujuan penggunaan BPJS sebagai syarat administrasi publik adalah menunjukkan kehadiran pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan kepada rakyatnya, dengan maksud Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Poin tersebut berfokus pada bagaimana BPJS yang semula pada tahun 2021 menurut data dari Kaleidoskop BPJS Kesehatan, bahwa keikutsertaan masyarakat sebagai anggota aktif BPJS Kesehatan mencapai 229.514.068 jiwa atau sekitar 193 juta orang.
Sedangkan sekitar 47 juta orang pernah mendaftar jaminan kesehatan akan tetapi dinonaktifkan, serta sekitar 40 juta orang masyarakat belum mendaftarkan diri sebagai anggota BPJS Kesehatan. Dengan demikian, mendorong Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang mengharuskan 98 perse masyarakat Indonesia sudah menerima jasa layanan kesehatan terkhusus sebagai anggota Jaminan Kesehatan Nasional, pemerintah meminta kerjasama semua menteri agar BPJS dijadikan sebagai syarat administrasi publik.
Kebijakan yang terkesan terburu-buru tanpa adanya pembenahan dan evaluasi regulasi yang tepat, menyebabkan berjalannya administrasi pelayanan publik semakin kurang efektif. Sebagai petugas administrasi publik dalam sebuah lembaga yang juga berkenaan dengan syarat BPJS sebagai administrasi publik, saya menemukan berbagai kesulitan yang dikeluhkan masyarakat terkait regulasi tersebut.
Kesulitan itulah yang menyebabkan alur pendaftaran berkas pemohon menjadi begitu lamban terproses, pasalnya masyarakat yang sebelumnya belum membuat BPJS diharuskan membuat BPJS dan BPJS yang non-aktif diharuskan mengaktifkannya kembali.
Baca Juga: 125 Pegawai Terlibat Kasus Mafia Tanah, Ini Sanksi yang Diberikan kepala BPN
Meskipun pembuatan BPJS dinilai cukup mudah dengan mendaftarkan diri pada JKN-Mobile, proses pembayaran yang tidak dapat langsung dilakukan di hari yang sama serta waiting list for paid selama kurang lebih 15 hari pasca pendaftaran, proses percetakan kartu pun menjadi cukup lama. Setidaknya per-orang membutuhkan waktu sekitar satu bulan dalam pembuatan BPJS sampai menjadi sebuah kartu atau e-bpjs.
Lambannya proses pembuatan BPJS juga mendukung lambannya proses pembuatan sertipikat tanah atau proses peralihan hak yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Pertanahan ATR/BPN. Pengurusan administrasi di BPN yang memang dinilai cukup lamban dan didukung dengan lamanya pembuatan kartu BPJS, menjadikan proses yang semula lamban menjadi semakin lamban.
Fakta yang disampaikan oleh Tjiptono (2005:13) menyatakan bahwa pelayanan yang berkualitas akan memberikan pelayanan dan kepuasanan yang optimal kepada masyarakat pengguna layanan, akan tetapi dengan kualitas pelayanan yang rendah dapat menyebabkan banyaknya keluhan dan proten dari masyarakat sebagai pengguna layanan.
Hal ini sesuai dengan data yang didapatkan dari Ombudsman Republik Indonesia sejak 4 tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa secara substansi nasional Kantor Pertanahan tidak pernah absen menempati posisi puncak sebagai lembaga dan substansi yang paling sering dilaporkan masyarakat karena proses yang cukup lambat dan berbelit-belit.
Baca Juga: Anggota DPR Sebut Ada Mafia Tanah yang Melibatkan Internal BPN
Biasanya proses balik nama sertipikat di setiap wilayah memang berbeda-beda. Umumnya proses balik nama sertipikat dari sertipikat hak milik membutuhkan waktu maksimun sekitar tiga bulan. Berbeda lagi dengan pengurusan dari letter c/pepel yang akan diterbitkan sebagai sertipikat baru, bahkan ada yang membutuhkan waktu sekitar lebih dari satu tahun. Belum lagi proses yang cukup rumit apabila tanah sertipikat dialihfungsikan kegunaan dari tanah pertanian ke tanah bangunan, proses roya, proses waris dan balik nama waris, bahkan pembuatan sertipikat hilang, pemisahan sertipikat, dan berbagai proses lainnya.
Bahkan, setiap kantor wilayah pertanahan juga fokus pada pengerjaan target tahunan dalam projek Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri No 12 tahun 2017 tentang PTSL dan Instruksi Presiden No 2 tahun 2018.
Berbagai proses yang lama ini memberikan kecemasan pada masyarakat dalam melakukan sertifikasi tanah. Setidaknya sudah terdapat beberapa poin perubahan pada regulasi, dokumen, serta aturan birokrasi pada administrasi pelayanan publik di Kantor Pertanahan Wilayah.
Baca Juga: Kajian Feminisme Dalama Novel : Pope Joan Karya Donna Woolflok Cross
Pertama, Penggunaan BPJS terhitung sejak 1 Maret 2022, proses ini membutuhkan waktu pembuatan, pembayaran, percetakan yang berhubungan dengan kantor pelayanan BPJS Kesehatan.
Kedua, Setiap perubahan Kepala Kantor, maka regulasi dan aturan juga berubah. Seperti perubahan pada blanko pendaftaran pengukuran peta bidang, pemisahan, pelepasan hak, perubahan sistem daftar online, pembaharuan sistem, dan kelengkapan dokumen serta lainnya. Perubahan ini juga membebani masyarakat saat perubahan tersebut tidak diikutsertakan dengan sosialisasi, pengarahan, dan penjelasan kepada masyarakat terkhusus layanan administrasi publik terkait, seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Ketiga, Pembaharuan sistem pendaftaran online yang belum siap. Sistem pendaftaran online pada pendaftaran peralihan hak dan cheking sertipikat, masih memerlukan perbaikan sistem big data yang kuat dan tidak membingungkan. Pasalnya, kendala eror pada sistem yang seringkali terjadi.
Peningkatan Kualitas Layanan
Menurut hasil kepatuhan Pemerintah Daerah Kabupaten Tahun 2015-2021 dalam segi pelayanan publik oleh Ombudsman 2021, Kabupaten Sumenep menempati posisi zona kuning dengan presentase 63,90. Zona kuning merupakan zona intermediate dalam segi pelayanan publik. Sehingga menuju angka yang lebih tinggi, segi pelayanan administrasi publik memang perlu ditingkatkan, khususnnya pelayanan administrasi pada pelayanan Pertanahan ATR/BPN.
Hasil penilaian dari Ombudsman tersebut menunjukkan bahwa memang terdapat beberapa komponen standar layanan yang masih harus dipenuhi oleh penyelenggara pelayanan yang masuk pada zona kuning.
Baca Juga: Wadas: The Way Home
Peningkatan pelayanan Pertanahan ATR/BPN dapat difokuskan pada informasi pelayanan publik non-elektronik secara jelas dan transparan, pengarahan dan sosialisasi mengenai layanan elektronik, peningkatan kerjasama antar lembaga yang dapat mengefektifkan regulasi dan efisiensi birokrasi, serta penyediaan pengelolaan pengaduan sebagai sarana pengukuran kepuasan pelanggan.
Pasalnya pengukuran kepuasan pelanggan bertujuan untuk mendapatkan feedback dari masyarakat atau pengguna layanan, yang nantinya dapat dijadikan bahan evaluasi kerja dalam upaya peningkatan kualitas layanan di dalam masyarakat. Memang sudah menjadi hak publik untuk mendapatkan informasi yang jelas dan transparan, mendapatkan hak-hak layanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Hak tersebut merupakan hak dari setiap orang sebagai pelanggan layanan administrasi yang memang sudah seharusnya tidak perlu bersusah payah, mengeluh, bahkan sampai menjadi korban pungutan liar untuk mendapatkan haknya. Sebaliknya juga masyarakat memiliki kewajiban untuk mematuhi setiap kebijakan sesuai dengan standar yang ditentukan.
Oleh karena itu, memangkas birokrasi menjadi lebih efektif dan efisien, perubahan regulasi yang disertakan sosialiasi dan pengarahan, aturan yang tidak selalu berubah-ubah dalam waktu yang singkat, serta peningkatan layanan administrasi kepada masyarakat, diharapkan menjadi satu langkah untuk terus berbenah mematuhi standar layanan yang telah diamanatkan.