
Ontimes.id, Jakarta – Fesyen adalah suatu gaya hidup manusia yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya. Troxell dan Stone dalam bukunya “Fashion Merchandising” berpendapat, fashion sebagai gaya yang diterima dan digunakan oleh mayoritas anggota sebuah kelompok dalam satu waktu tertentu.
Dewasa ini pakaian tak hanya dimaknai dari segi fungsinya, tetapi juga dari sisi estetika dan gengsi. Apalagi di era berjayanya internet dan muncul banyak situs e-dagang seperti saat ini membuat orang begitu mudah membeli pakaian.
Berbicara kebutuhan, Anda tahu betul berapa banyak pakaian yang dibutuhkan untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Namun, jika bicara gaya, tentu jumlah pakaian yang ada tak akan pernah cukup.
Apalagi di era media sosial ini di mana orang saling berbagi foto. Bahkan ada orang-orang yang enggan mengunggah foto dengan pakaian yang sama dan mendorong dirinya untuk memiliki pakaian baru terus menerus.
Dalam hal membeli pakaian, banyak orang tak begitu mementingkan kualitas, yang lebih penting adalah model yang sesuai atau mengikuti tren terkini. Pada akhirnya, pihak produsen pun melihat peluang ini untuk menciptakan fast fashion yang dimaknai sebagai produksi pakaian dalam jumlah banyak, cepat, kualitas rendah, dan harga murah.
Baca Juga: Galau? Terapi Humanistik Membantu Pertumbuhan Pribadimu
Kemudahan dalam membeli pakaian mengubah cara orang dalam memperlakukan benda yang dibeli. Karena mudah dibeli dan harganya murah, orang tak segan membuang pakaian yang sudah tak menarik atau ketinggalan zaman begitu saja.
Banyaknya sampah dari industri mode ini pun meresahkan banyak pihak dan kemudian melahirkan sebuah gerakan yang disebut sustainable fashion demi menyelamatkan bumi dari sampah-sampah produk fesyen dan perilaku produsen tak bertanggung jawab.
Mengenal konsep sustainable fashion
Sustainable fashion atau mode berkelanjutan merupakan sebuah praktik yang beretika untuk menjaga lingkungan dan memiliki misi menyelamatkan bumi dari sampah-sampah industri mode yang tidak terurai dan perilaku produsen tak bertanggung jawab yang menjalankan konsep fast fashion.
Fast fashion ini memang dinilai merisaukan karena banyak orang dengan mudah membeli pakaian dengan harga murah, desainnya pun begitu cepat diperbarui dan mengikuti tren mode. Dampaknya tak sepele, mereka menggunakan pewarna kain murah yang berbahaya bagi lingkungan, ditambah dengan penggunaan material yang sulit terurai.
Dampak-dampak dari fast fashion inilah yang membuat banyak pekerja industri mode mulai mempelajari konsep sustainable fashion untuk menjadikan industri mode lebih beretika terhadap lingkungan dan mendukung kelangsungan hidup para pekerja yang terlibat dalam proses produksi.
Konsep ini diterapkan dengan bertanggung jawab kepada konsumen dengan menyediakan pakaian dan asesori yang ramah di kulit, pun dilakukan dengan tidak memberi dampak buruk bagi lingkungan, dengan melakukan produksi yang tidak mengotori alam, juga etika pada para pekerja hingga proses pemasaran dan distribusi.
Belakangan ini, banyak desainer yang melakukan eksperimen dengan bahan ramah lingkungan. Namun, tentunya ada pilihan lain yang lebih murah dengan membeli pakaian bekas dengan kondisi layak pakai. Kini, kegiatan membeli pakaian bekas pun mulai mengetren di kalangan anak muda. Di Jakarta misalnya, Pasar Senen dan Pasar Metro Atom menjadi surga untuk berburu pakaian vintage.
Baca Juga: Begini Cara Merubah Hobimu Menjadi Sumber Pendapatan
Fakta tentang limbah industri mode
Industri mode faktanya menyumbang banyak sampah. Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) menghasilkan lebih dari 17 juta ton limbah tekstil setiap tahun. Sekitar 85 persen dari semua tekstil yang dibuang di AS, sekitar 13 juta ton pada tahun 2017, dibuang ke tempat pembuangan akhir atau dibakar.
Rata-rata orang AS membuang sekitar 37 kilogram pakaian setiap tahun. Secara global, diperkirakan 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan setiap tahun. Pada tahun 2030, diperkirakan jumlahnya akan lebih dari 134 juta ton limbah tekstil per tahun.
Begitu pakaian dibuang ke tempat sampah, dan berakhir di tempat pembuangan, perlu diketahui bahwa proses penguraiannya bisa membutuhkan waktu hingga puluhan tahun. Dalam prosesnya, sampah akan mengeluarkan gas rumah kaca, memancarkan metana, serta mencemari tanah dan air.
Industri mode bertanggung jawab atas 10 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca. Produksi tekstil saja diperkirakan mepelaskan 1,2 miliar ton gas rumah kaca ke atmosfer setiap tahun.
Jangan lupakan fakta bahwa dibutuhkan sejumlah besar air dalam produksi pakaian yang juga berkontribusi pada 20 persen limbah. Untuk menghasilkan sebuah kaus dan celana jin, dibutuhkan air sebanyak 5.000 galon dan ini menjadi salah satu penyebab terbesar pencemaran serta pemborosan air.
Di Jakarta sendiri, diansir dari kompas, National Geographic (Maret, 2020) mencatat bahwa dari 57 persen sampah yang ada, 8,2 persennya merupakan limbah tekstil.
Selain mengancam biota yang hidup di sepanjang aliran sungai, limbah yang mencemari sungai juga berbahaya bagi kesehatan. Mulai dari penyakit kulit, hingga potensi penyakit kanker, jika air yang tercemar dikonsumsi.
Upaya menjaga lingkungan dari sisi konsumen
Mengutip dari goodnewsfromindonesia, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendukung gerakan sustainable fashion. Hal paling mudah adalah menggunakan pakaian lebih lama demi mengurangi limbah pakaian. Umumnya, rentang usia sepotong pakaian adalah 5,4 tahun. Jadi, sebisa mungkin pakailah setiap baju yang Anda punya sampai mencapai batasnya.
Setelah itu, pertimbangkan untuk mendaur ulang pakaian. Semakin banyak pakaian didaur ulang, semakin sedikit emisi yang dihasilkan. Berkreasilah dengan pakaian bekas agar tetap menjadi sesuatu yang berguna.
Mulailah bijak dalam berbelanja pakaian. Tentu tak ada larangan untuk membeli baju baru. Namun, pertimbangkan untuk membeli baju yang lebih berkualitas agar bisa dipakai lebih lama demi mengurangi jumlah pakaian di tempat sampah. Prinsipnya adalah membeli lebih sedikit, lebih berkualitas, dan bisa dipakai dalam jangka waktu panjang.
Pilihlah pakaian dengan model dan warna klasik. Memang barang berkualitas biasanya dijual lebih mahal, tetapi sebanding dengan apa yang didapatkan. Contoh barang-barang klasik yang sebaiknya dimiliki yaitu satu setel celana panjang formal dan jas untuk pria, rok dan jas formal untuk wanita, kemeja putih, jaket, celana jin, rok atau celana kasual, kaus atau blus dengan warna netral, gaun malam warna hitam, dan aseori seperti sepatu, tas, dan perhiasan warna netral.
Sebagai konsumen, Anda pun bisa belajar mengenali merek-merek pakaian yang sudah mengarah ke sustainable fashion. Sebagai contoh retail yang mudah dijumpai di Indonesia adalah H&M Conscious.
Fesyen di Indonesia dan Kontribusi PDB
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno berharap Indonesia menjadi pusat fashion muslim dunia. Harapan ini muncul karena memiliki modal dan segudang potensi, mulai dari sektor sumber daya manusia, pasar, hingga fashion designer berkualitas.
Menparekraf menjelaskan, sektor fesyen memberikan sumbangsih Pendapatan Domistik Bruto (PDB)sektor ekonomi kreatif (ekraf) bagi Indonesia. Saat ini sektor ekraf Indonesia menjadi nomor tiga terbesar penyumbang PDB di dunia, setelah Amerika Serikat dengan Hollywood dan Korea Selatan dengan K-Pop.
Menurut Sandiuno, Sektor ekraf (ekonomi kreatif) sudah menyumbang PDB sebesar Rp1.100 triliun dari 17 subsektor ekonomi kreatif, utamanya dari fashion, kuliner, dan kriya. Data Opus 2019, menyebutkan jika total PDB tersebut, Rp175 triliun di antaranya disumbang subsektor fashion. (fh/ud).*